PEDAGANG KAKI LIMA

 

Bunga-bunga kehidupan

Tumbuh subur di trotoar

Mekar liar dimana-mana

 

Langkah-langkah garang datang

Hancurkan wanginya kembang

Engkau diam tak berdaya

 

Bungaku

Bunga liar

Bungaku

Bunga trotoar

 

Menggelar aneka barang

Menggelar mimpi yang panjang

Kaki lima menggelar resah

 

Di emperan toko besar

Koar mulutmu berkobar

Kaki lima makin menjalar

 

Bungaku

Bunga liar

Bungaku

Bunga trotoar

 

Bagai jutaan serigala

Menyerbu kota besar

Tempat asal adalah neraka

 

Tolong beri tahu aku

Bagaimana caranya

Nasib tak pernah berpihak

 

Demikian syair lagu Bunga Trotoar yang dinyanyikan Iwan Fals. Dalam lagu itu dilukiskan tentang kondisi para pedagang kecil yang biasanya menggelar dagangannya di pinggiran jalan besar atau trotoar. Umumnya kaum pendatang dari daerah yang mendatangi kota-kota besar terutama Jakarta. Mereka mencoba untuk mengadu peruntungan nasib.

Di Jakarta khususnya, para pedagang ini disebut dengan istilah kaki lima atau biasa disingkat dengan PKL (Pedagang Kaki Lima). Istilah kaki lima, pada dasarnya adalah para pedagang yang tidak memiliki bangunan permanen berupa toko. Demikian kira-kira.

Lalu, mengapa memakai kata-kata atau istilah kaki lima?

****

Ada versi yang mengkaitkan istilah pedagang kaki lima dengan gerobak dagangan yang biasa dipakai untuk berdagang. Jumlah lima kaki itu adalah dua kaki si pedagang disertai dengan tiga “kaki”, yakni dua roda dan satu kaki kayu dibelakang gerobak.

Versi yang demikian itu seolah mengarang-ngarang, apabila kita melihat keberadaan pedagang kaki lima itu sendiri. Para pedagang kaki lima bukan hanya menggunakan gerobak saja. 

Sebelumnya, pedagang yang disebut kaki lima ini ada yang menjajakan dagangannya dengan cara dipikul. Bahkan jaman sekarang ada pedagang kaki lima yang menggunakan mobil bak terbuka untuk menawarkan barang-barang dagangan.

Fenomena pedagang yang menjajakan dagangannya di emperan jalanan Batavia alias  Jakarta sudah ada sejak tempo doeloe.

 

Pedagang di Pinggiran Jalan Meester Cornelis Tahun 1895 (Foto: KITLV)

Dalam buku Beschrijving der Nederlandsche Bezittingen in Oost-Indie digambarkan tentang aktivitas para pedagang kecil di Batavia pada sekitar awal abad 18:

….Masing-masing pedagang sibuk di tempatnya dan menunjukkan serta menawarkan barang dagangannya. Semua hasil pertanian dan industri dijual disini. Jenis-jenis makanan yang diolah dengan berbagai cara tersedia. Tenda kecil, dengan kursi sederhana, mengundang selera pengunjung untuk mencoba Nasi Koening. Nasi Koening ini terdiri dari beras kuning yang dimasak, ditambah dengan ikan goreng dan sambal. Dibungkus daun dengan pin bambu. Kari Ikan, Kari Ayam dan Kari Udang juga mengudang selera disini. Di tempat yang lain, terlihat buah-buahan yang membuat orang mengeluarkan air liur. Terdapat banyak jenis buah seperti pisang, mangga, manggis, kelapa, nanas, rambutan, durian, jeruk manis, semangka, langseh dan sebagainya, tersedia untuk dibeli. Di salah satu warung tenda terdapat orang yang sedang menikmati ketan dan kacang. Di lain tempat, seorang gadis penjual minuman tebu sedang melayani pembeli. Selanjutnya, seorang wanita yang memiliki dagangan berupa aneka jenis kue.

****

Aktivitas peniagaan yang semakin ramai menimbulkan adanya aturan-aturan yang dikeluarkan pihak pemerintah kolonial kala itu. Aturan tersebut berkaitan dengan adanya pungutan-pungutan pajak.

Dalam karangannya Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia, Mona Lohanda menyatakan adanya banyak aturan yang mengatur pedagang di Batavia di masa lalu. Dari sekian banyak aturan, salah satunya adalah berhubungan dengan masalah sewa tempat usaha. 

Jika hendak menyewa tempat untuk berdagang, maka tempat tersebut haruslah diukur dengan jarak lima kaki dari badan jalan. Boleh jadi, aturan yang memberlakukan hal demikian menjadi cikal bakalnya sebutan warung kaki lima atau pedagang kaki lima.          

 


Komentar

Postingan Populer