Masih ingatkah Anda dengan telepon umum? Sebuah perangkat yang dulu menjadi salah satu andalan komunikasi publik, kini hanya tinggal dalam kenangan. Jujur saja, bagi Gen Z yang lahir setelah tahun 1990-an, mungkin perangkat ini sama sekali tidak meninggalkan jejak kenangan. Namun, di balik kesederhanaannya, telepon umum menyimpan banyak cerita berbagai drama kehidupan. Dari mengantre di kala menunggu giliran, mengumpulkan uang logam untuk menelpon, hingga menjadi penonton ekspresi amarah, tawa, bahkan tangisan yang tampak dari balik bilik kaca telepon umum.
Telepon umum bukan hanya sekadar peranti untuk berkomunikasi,
melainkan juga sebuah ikon sosial pada masanya. Ia adalah alat penghubung
antara mereka yang berjauhan, tempat berbagi kabar gembira maupun duka, dari
para penghuni kota.
![]() |
Telepon Umum di Terminal Blok M, Kebayoran Baru (Berita Yudha, 1981) |
Telepon Umum Pertama di Indonesia
Menurut catatan, Jakarta merupakan kota pertama yang
menghadirkan telepon umum di Indonesia. Tepatnya di awal tahun 1969, Pemerintah
Daerah DKI Jakarta meluncurkan sebuah proyek pembaharu. Proyek ini melibatkan
pemesanan dan pemasangan sebanyak 100 unit telepon koin yang tersebar di
berbagai titik strategis.
Pendanaan awal proyek ini cukup istimewa pada masa itu.
Menelan biaya sekitar US$ 1000, sebuah angka yang cukup besar kala itu. Untuk
memastikan kualitas dan keandalan, perangkat telepon yang dipakai didatangkan dari
produsen terkemuka internasional, yaitu Siemens dari Jerman dan Tamura dari
Jepang. Namun, pada tahap awal kemunculannya, telepon umum ini masih terbatas,
hanya dapat dipakai untuk melakukan panggilan lokal saja.
Koin Khusus dan Pengembangan Jaringan
Untuk dapat menggunakan layanan telepon umum,
diperlukan koin khusus senilai Rp 25,-. Koin ini bukanlah koin biasa yang
beredar di pasaran, melainkan dicetak khusus di percetakan uang logam yang
berlokasi di Kebayoran Baru. Pada tahap awal produksinya, sebanyak 20.000
keping koin dicetak. Koin dicetak dengan desain yang khas berupa lambang Pemda
DKI Jakarta di satu sisi dan logo P.N Telkom di sisi lainnya.
Dalam proyek perdananya, Pemda DKI Jakarta memiliki visi besar untuk menyebarkan layanan ini lebih luas lagi. Targetnya adalah 300 telepon umum akan tersebar merata di berbagai lokasi publik dan pusat keramaian selama periode PELITA I (1969-1974).
![]() |
Telepon Umum di Pasar Senen, Jakarta Pusat (Album Pembangunan Indonesia Masa Orde Baru, 1978) |
Beberapa lokasi strategis yang dipilih meliputi beberapa area penting seperti Bandara Kemayoran, Pasar Senen, Terminal Bis Lapangan Banteng, Stasiun Gambir, RS Cipto Mangunkusumo, Taman Ismail Marzuki, Balaikota, Monumen Nasional, Bioskop Megaria, Kartika Plaza, dan Pertokoan Sarinah. Pemilihan lokasi-lokasi ini menunjukkan upaya pemerintah daerah Jakarta untuk memastikan akses komunikasi yang mudah bagi masyarakat di tempat-tempat yang paling sering dikunjungi.
Jadi, meskipun sekarang sudah tergantikan oleh smartphone,
telepon umum punya riwayat yang cukup panjang dan kenangan yang tak terabaikan buat
banyak orang.
Komentar
Posting Komentar