KISAH RAMBUTAN RAPI'AH

Semua penduduk Jakarta atau khususnya Jakarta Selatan pastilah mengenal yang namanya buah rambutan. Akan tetapi tahukah mereka, bahwasanya pu’un dan buah rambutan dijadikan lambang dari kota administrasi Jakarta Selatan. Kalo kagak percaya coba aja longok ke depan gedong kantor walikota Jakarta Selatan di jalan Prapanca Raya, Kebayoran Baru. Di depan gedung tersebut kita bisa lihat ada gambar burung nangkring diatas buah rambutan.

Menurut isi Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1422/1997, gambar burung yang terdapat pada lambang kota Jakarta Selatan itu adalah burung gelatik, sedangkan jenis rambutannya ialah rambutan rapiah. Surat Keputusan yang dikeluarkan pada tahun 1997 tersebut merupakan sebuah penetapan terhadap lambang Kota Administratif Jakarta Selatan.

Lambang tersebut memiliki bentuk perisai lima. Di dalam perisai  terdapat gambar fauna dan flora khas dari Jakarta Selatan. Burung Gelatik diambil sebagai mewakili faunanya, sedangkan untuk floranya adalah pohon dan buah Rambutan Rapiah. 

Penggambaran fauna dan flora khas tersebut menyimpan arti alam lingkungan yang hijau dan teduh yang melambangkan persatuan, kekuatan dan ketenangan serta kebersamaan.

Lambang Kota Administrasi Jakarta Selatan

Untuk mempersingkat dalam tulisan ini hanya menyoal tentang flora yang dijadikan lambang Kota Administrasi Jakarta Selatan.

Mengapa rambutan rapiah yang dijadikan lambang flora dari Kota Administratif Jakarta Selatan, bukannya jenis atau varietas lainnya.

*****

Tanaman atau Buah rambutan yang dalam bahasa ilmiahnya disebut sebagai Nephelium lapaceum LINN, dipercaya berasal dari daerah Nusantara. Sebutan Rambutan pada buah ini mungkin mengacu pada kulit buahnya yang menyerupai “rambut”. 

Pohon rambutan memiliki banyak cabang dan memiliki ketinggian sampai 25 meter.  Bentuk daun-daunnya bulat telur dengan besar batang pohonnya sekitar 40 hingga 50 cm. Jika sedang musimnya, buah rambutan beruntai dan warnanya setelah masak bergantung jenis atau varietas. Ada yang berwarna merah, kuning serta hijau. Pohon rambutan ditanam orang di daerah-daerah rendah hingga ketinggian 600 meter diatas permukaan laut, dengan tanah yang mengandung banyak air serta berhawa agak lembab.

Sudah sejak lama Batavia khususnya di sekitar daerah Pasar Minggu merupakan penghasil buah-buahan terbaik pada masa lalu. Hasil buah-buahan tersebut bukan cuma kesohor di kawasan Batavia dan sekitarnya saja. Melainkan tersohor hingga ke seberang pulau. 

Bukan hanya sekadar ingin mencicipi lezatnya buah-buahan dari Batavia. Masyarakat di Sumatera Utara misalnya, bahkan kepingin menanam sendiri pohon buah-buahan asal Batavia. Dalam salah satu iklan komersial di Koran De Sumatra Post terbitan 18 Mei 1918 tertulis:

HADJI MOEALA
Mesdjid Kling, tegenover Tangsi Gew. Politie verkoopt verschilllende
 tjangkokans van Batavia o.a.
Tjangkokan Manggis, Ramboetan, Doekoe, Sawo Manilla, Djeroek enz
Tjangkokans van rozen, palmen, chevelures, enz. te veel om te roemen.
Prijzen van f I.— tot f 1.50 per stuk


Seorang pedagang yang beralamat di daerah Mesjid Keling Medan, menjual cangkokan berbagai tanaman buah-buahan asal Batavia (Jakarta). Cangkokan tanaman buah tersebut terdiri cangkokan manggis, rambutan, duku, sawo manila, jeruk dan sebagainya. Harga tanaman cangkokan yang ditawarkan berkisar antara 1 hingga 1,5 gulden per pohon.
  
Dalam buku De Nuttige Planten van Netherland-Indie yang terbit pada tahun 1922, K Heynes menyebutkan bahwasanya daerah di Jakarta Selatan, yakni Pasar Minggu merupakan penghasil buah rambutan terbaik. Di daerah ini banyak varietas rambutan seperti rambutan si macan, rambutan si nyonya, rambutan tangkweh, rambutan lebak bulus atau rambutan lebak serta rambutan rapi’ah.

*****

Ada sedikit riwayat mengenai buah rambutan rapiah yang menjadi lambang flora kota Jakarta Selatan. 

Alkisah, pada jaman dulu di daerah Pasar Minggu ada seorang perempuan tua tinggal disana. Namanya Rapi’ah. Seperti orang-orang Betawi pada umumnya, orang-orang yang mengenal dia memanggilnya dengan sebutan Nyai atau Nyi Rapi’ah.

Menurut kabarnya, Nyi Rapi’ah memiliki sebatang pohon rambutan yang sangat enak rasa buahnya. Buahnya manis, sangat lezat dan daging buahnya gampang terkelupas atau ngelotok. Pokoknya buah rambutan milik Nyi Rapi’ah pada saat itu kagak ada yang ngejabanin alias tak ada yang menandingi kualitasnya.

Buah rambutan milik Nyi Rapi’ah menjadi terkenal seketika pada masa itu. Sampai-sampai khalayak ramai yang menyukai buah rambutan memberikan julukan rambutan Rapi’ah. Sesuai dengan nama sang pemilik pohon rambutan tersebut.
 
Karena banyak peminatnya, Nyi Rapi’ah pada mulanya menjual rambutannya kepada para tengkulak dengan harga 3 sen seikatnya. Satu ikat berjumlah 20 buah rambutan. Harga 3 sen tersebut sama dengan harga rambutan jenis yang lainnya pada saat itu.

Lantaran laris manis di pasaran, tengkulak-tengkulak tersebut pada datang sendiri ke rumah Nyi Rapi’ah dan berani membeli kendatipun buah rambutan tersebut belum masak. Melihat gelagat para tengkulak, Nyi Rapi’ah kagak kalah cerdik. Dia menaikkan harga rambutannya menjadi 10 sen seikat. Sementara harga rambutan jenis yang lainnya masih tetap 3 sen.

Seiring berjalannya waktu, para tengkulak yang datang bukannya berkurang malah semakin bertambah. Saking melonjaknya permintaan akan buah rambutan miliknya, Nyi Rapi’ah terus menaikkan harganya. Hingga dijual dengan harga 1 sen per buah pun, para tengkulak tersebut masih tetap berani membelinya.

Selain membeli buahnya, ada sebagian orang yang ingin menanam sendiri pohon rambutan kepunyaan Nyi Rapi’ah tersebut. Menyikapi hal demikian, Nyi Rapi’ah juga menjual cangkokan pohon rambutannya. Harga yang dipatoknya untuk sebuah cangkokan sekitar 5 rupiah, sedangkan harga cangkokan rambutan jenis lain adalah 50 sen (Mingguan Djaja, 22 Juni 1963).

Menyinggung soal penjualan cangkokan tanaman, khususnya cangkokan pohon rambutan rapiah ini cukup banyak diminati oleh para penduduk di sekitar Pasar Minggu. Salah satunya ialah Pak Indiarto 80 Tahun, seorang pensiunan pegawai negeri yang bermukim di Pasar Minggu. Dia berkisah bahwasanya pohon rambutan rapia’ah di samping rumahnya ditanam sejak pertama menempati rumah dinasnya tersebut.

“Saya beli cangkokan pohon rambutan rapiah itu dari pedagang tanaman keliling sewaktu pertama kali tinggal disini pada tahun 1974”, kenangnya tentang pohon rambutan di samping rumahnya di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. 

Pohon yang dahulu bisa menghasilkan lebih enam karung sekali panen, buahnya tidak dijual, hanya dibagi-bagikan kepada para tetangga serta saudara. Sambil menengadah keatas pohon rambutan rapiah yang sedang berbuah dia berujar lebih lanjut, “Mungkin karena sudah tua ya, hampir 45 tahun. Sekarang kalo pohonnya berbuah paling cuma menghasilkan dua karung”.      

*****

Mungkin, berkat riwayat tentang kesohornya pohon buah rambutan rapi’ah itulah. Sampai-sampai kota administratif Jakarta Selatan mencantumkan gambar pohon rambutan pada lambang daerahnya.

Menyedihkan sekali jikalau generasi muda di Jakarta, khususnya lagi di Jakarta Selatan, mengenal pu'un rambutan rapi'ah cuman dari gambar lambang Kota-nya. Atau hanya mengetahui dari bantuan si mesin pencari atau search engine yang bernama Google.  

Komentar

  1. Bang bisa cerita asal usul nama pisangan kretek di daerah Petukangan Selatan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer