NGADUK DODOL NGGAK BOLEH NGOBROL

Seminggu atau hari-hari mendekati lebaran, orang biasanya sibuk menyiapkan kebutuhan terutama penganan. Menyambut hari raya Idul Fitri atau lebaran masyarakat muslim yang merayakannya membuat berbagai jenis olahan makanan yang menjadi ciri khas masing-masing daerahnya.

Begitupun dengan masyarakat Betawi. Masakan berupa kue-kue khas yang jarang ditemukan pada hari biasa, muncul disaat lebaran. Akar kelapa, kembang goyang, geplak, kue satu, bumbucin, tengteng, biji ketapang, tape uli, manisan paya, rengginang, sagon dan lainnya adalah sederet penganan yang dengan gampang ditemukan di rumah-rumah penduduk.

Dari jenis-jenis penganan yang disebutkan itu, ada salah satu yang cukup istimewa ketimbang lainnya. Ya betul sekali. Dodol Betawi.

Dodol Betawi menjadi istimewa dikarenakan proses pembuatannya yang rumit. Butuh waktu berjam-jam dan banyak tenaga dalam membuatnya. Istimewa bukan hanya soal bagaimana rasa dodol tersebut. Melainkan proses pembuatannya yang melibatkan banyak orang. Ada aktivitas gotong royong antar sesama keluarga besar disitu. Baik tua muda, laki-laki perempuan hingga anak-anak turut nimbrung sewaktu ngaduk dodol.

Hingga sekitar awal tahun 80an, di daerah Kebayoran tempat tinggal kami, masih bisa disaksikan banyak keluarga yang ngaduk dodol menjelang lebaran. Jika tiba ampir siang, para anggota keluarga bersemangat  dalam  mempersiapkan kegiatan ngaduk dodol.  Ampir siang berarti saat dimulainya kegiatan menumbuk beras untuk pembuatan dodol, yang waktunya bersamaan dengan sahur.

Segala persiapan dilakukan. Ada pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan. Kaum perempuan menyiapkan bahan-bahan untuk membuat dodol. Menumbuk beras serta mengayaknya agar menjadi tepung. Memarut kelapa dan memerasnya menjadi santan serta tetek bengek lainnya.

Sementara itu, para laki-laki dengan tenaganya yang lebih kuat mengerjakan pekerjaan yang lebih berat. Mempersiapkan tungku tempat memasak dodol. Biasanya batang atau gedebong pohon pisang yang sebesar paha orang dewasa digunakan untuk dijadikan tungku. Bersamaan dengan itu, dikumpulkan pula kayu bakar untuk memasak dodol. Biasanya kayu yang digunakan adalah yang berasal dari pohon rambutan, karena dianggap tidak cepat habis terbakar api.

Setelah tungku pembakaran telah siap, barulah diletakan sebuah kawa, yaitu sejenis penggorengan berbahan logam yang mempunyai ukuran sangat besar. Seluruh bahan-bahan yang sudah siap kemudian dituangkan ke dalam kawa tersebut. Bahan-bahan yang telah masuk ke dalam kawa, kemudian diaduk-aduk menggunakan gelo, semacam alat pengaduk yang menyerupai dayung, berukuran panjang sekitar 1,5 meter. 

Butuh waktu yang cukup lama, sekitar 8 hingga 12 jam untuk mengaduk-aduk adonan dodol ini tanpa henti. Sewaktu adonan masih encer biasanya kaum perempuan yang mengaduk. Semakin lama berada diatas bara api, adonan dodol akan menjadi koleh. Koleh adalah istilah untuk menyebutkan adonan dodol dalam keadaan kental dan berat untuk diaduk. Pada saat inilah dibutuhkan tukang ngaduk yang harus memiliki fisik yang kuat.

(Ngaduk Dodol di Daerah Jagakarsa, Jakarta Selatan. Sumber: Foto Pribadi)

Bukan hanya sekadar fisik yang kuat, tukang ngaduk juga harus memiliki keahlian dalam pembuatan dodol ini. Dia harus mengerti tingkat pembakaran api dibawah kawa. Jika api atau bara tersebut terlalu panas, dapat menyebabkan dodol berbau asap atau sangit, serta bisa juga adonan dodol menjadi hangus. 

Selain masalah teknis tersebut ada kepercayaan di kalangan orang-orang yang ngaduk dodol pada masa lalu, berupa pantangan. Pantangan itu ialah melarang orang-orang yang berada didekat tungku untuk tidak banyak bicara. Jika pantangan itu dilanggar, dipercaya dodol tidak akan baik hasilnya.

Lepas magrib, biasanya dodol telah matang. Para wanita mempersiapkan wadah berupa nampan atau tampah. Dodol yang telah matang dituangkan keatas nampan dan tampah untuk didinginkan. Dalam proses akhir ini menjadi kegembiraan tersendiri bagi anak-anak. Dengan sendok dan selembar daun pisang, mereka berebut mengambil sisa-sisa dodol yang masih menempel di kawa.

Kini kegiatan ngaduk dodol menjelang lebaran di sekitar Jakarta sudah sangat sulit ditemukan. Kalaupun ada, ngaduk dodol di Jakarta sekarang ini agaknya lebih bersifat komersil. Orang ngaduk dodol untuk dijual ke konsumen. Atau kita dapat menjumpai orang ngaduk dodol di sela-sela acara festival budaya Betawi. 

Mencermati keadaan yang demikian, jadi ingat seloroh orangtua kami, “Ngaduk dodol di rumah kita udah kagak ada tempat-nya, dapurnya pada sempit!” selanjutnya dia berkata dan seolah bertanya, “Mau ngaduk dodol di dapur model sekarang? Lah ntar perabotan dapur lu yang cakep-cakep ntar pada cemong”. Dan kami pun cuma bisa tersenyum...



Komentar

Postingan Populer