Aktivitas ekonomis adalah salah satu aspek dalam budaya suatu
masyarakat dari sejak masa lalu. Kegiatan ekonomis itu pada tahap
perkembangannya memunculkan adanya tempat yang dinamakan pasar. Begitu pula dengan Kebayoran, di wilayah yang pada sekitar awal 20 merupakan bagian dari Meester Cornelis ini memiliki sebuah pasar.
Pada mulanya pasar di Kebayoran tidaklah memiliki bangunan-bangunan. Pasar di daerah ini hanyalah kumpulan para pedagang yang menggelar dagangannya di tepi jalan. Barulah pada sekitar tahun 1928, pemerintah pada saat itu membangun pasar yang lebih baik. Dengan bangunan-bangunan toko permanen.
Koran Bataviaasche Nieuwsblad dalam terbitannya tanggal 10 September 1928 melaporkan bahwa proyek peremajaan pasar Kebayoran pada waktu itu dikerjakan oleh perusahaan swasta Hollandsche Beton Maschappij. Peresmian peremajaan pasar Kebayoran dihadiri oleh para pejabat administrasi Eropa dan Pribumi. Dalam sambutannya, Bupati Meester Cornelis, Raden Adinegara menyatakan bahwa pasar yang baru dibangun ini merupakan pasar modern di Kebayoran. Jadi, sebelum ada bangunan pasar di Kebayoran Baru, di Kebayoran Lama pun telah dibangun pasar yang dianggap modern. Tentu saja dianggap modern pada masa sebelumnya.
Peresmian Peremajaan Pasar Kebayoran Tahun 1928
Sumber: www.media-kitlv.nl
Pada hakekatnya
pasar merupakan tempat interaksi masyarakat. Hubungan interaksi yang cukup erat
tampak sekali dapat ditemui di pasar-pasar tradisional. Lain halnya jika kita
berbelanja di toko atau supermarket modern, interaksi antar orang-orang nyaris
tak dijumpai disana. Sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli, pasar
tradisional bukan melulu dilihat dari aspek ekonomis.
Di pasar tradisional muncul ekspresi budaya dari para
pelaku yang kerkegiatan disitu. Proses interaksi yang terjadi di pasar-pasar
tradisional pada gilirannya memunculkan adanya tradisi yang tercipta di masyarakat
sekitar. Hal yang demikian bisa terjadi salah satunya melalui tradisi lisan
yang berkembang.
Salah satu bagian dari tradisi lisan adalah bahasa rakyat.
Jenis-jenis bahasa rakyat tersebut misalnya logat, julukan, pangkat tradisional
dan titel kebangsawanan. Logat merupakan cara mengucapkan kata yang khas
biasanya dimiliki oleh masyarakat dari kelompok budaya tertentu. Selain logat,
dalam bahasa folk atau bahasa daerah
ada yang disebut dengan slang atau cant . Penggunaan jenis bahasa slang serta cant ini dimaksudkan untuk menyamarkan arti kata/bahasa dari
kelompok lainnya.
Jenis bahasa yang terdapat di masyarakat Betawi, utamanya
yang berprofesi sebagai pedagang yakni shop
talk. Mungkin karena banyak orang Cina yang mendominasi dalam aktivitas perdagangan
di pasar, kata-kata yang digunakan dalam shop
talk itu pun berasal dari bahasa Cina. Kebanyakan istilah yang diucapkan
merupakan kata-kata yang mengacu pada bilangan angka atau pecahan uang.
***
Sampai sekitar tahun 1980an, masyarakat di kampung Kebayoran, terutama yang berprofesi sebagai pedagang masih menggunakan shop talk yang berkaitan dengan
penyebutan angka atau pecahan uang rupiah. Karena ayah saya pedagang, maka pada
saat itu sering terdengar ucapan seperti gotun
(lima rupiah), captun (sepuluh
rupiah), jigo (duapuluh lima rupiah),
gocap (limapuluh rupiah), cépe (seratus rupiah), péjigo (seratus duapuluh lima rupiah), pégo (seratus lima puluh rupiah), nopé (dua ratus rupiah), nopégo (dua ratus limapuluh rupiah), gopé (lima ratus rupiah), seceng (seribu rupiah), cénggo (seribu lima ratus rupiah), nocéng (dua ribu rupiah), gocéng (lima ribu rupiah), ceban (sepuluh ribu rupiah), noban (duapuluh ribu rupiah), goban (limapuluh ribu rupiah). Dan
karena ayah cuma pedagang kecil, sewaktu itu saya jarang mendengar kata cetiaw (satu juta rupiah) yang keluar
dari mulutnya...hehe
Duit Gotunan atau Rp 5
Di pasar Kebayoran dahulu dikenal pedagang-pedagang Cina yang
jadi langganan keluarga kami untuk membeli keperluan rumah tangga. Apabila mau
berbelanja, biasanya orang tidak menunjuk nama warung atau toko melainkan nama
si pemiliknya. Saya masih ingat sewaktu disuruh membeli barang keperluan,
orangtua kami menyebut nama si pemilik warung. “Tulung beliin beras ke warung Si Gobang gidah” , ucapan perintah itulah yang biasanya terdengar ke kami. Selain dari Si
Gobang ada juga Si Akew.
Belakangan saya mengetahui bahwasanya nama Gobang atau Akew bukanlah nama sebenarnya. Nama tersebut sebenarnya adalah
alias atau julukan. Gobang adalah
pecahan uang jaman dulu, sedangkan Akew
berarti anjing. Mengganti nama asli dengan julukan atau alias bagi sebagian
masyarakat Cina sebenarnya merupakan sebuah tradisi eksorsis. Tradisi eksorsis
merupakan kepercayaan untuk membebaskan seseorang dari roh jahat. Dengan mengganti
nama asli dengan julukan yang jelek, diharapkan seseorang yang diganti namanya
menjadi baik.
***
Sebagai pedagang perantara, ayah kami membeli barang untuk
didagangkan kembali di pasar Kebayoran. Barang dagangan berupa sayur mayur
dibeli di pasar Induk Kramatjati. Ada satu istilah yang dulu kami dengar
jikalau ayah hendak pergi ke pasar Induk Kramatjati. Istilah itu adalah milir. Istilah dari kata milir itu berasal dari kata menghilir (hilir).
Secara umum kita mengenal istilah lain yakni hilir-mudik.
Apabila ingin ditelusuri lebih jauh, mungkin kata “menghilir” ini berkaitan
dengan aliran sungai. Secara geografis hulu atau udik berada di pegunungan,
tempat dimana sumber aliran air sungai bermula. Adapun hilir yakni ujung dimana
aliran sungai berakhir di pantai atau laut. Seperti diketahui bahwasanya sungai
pada masyarakat tempo doeloe merupakan sarana transportasi. Melalui sungai pula
muncul peradaban manusia, termasuk menciptakan adanya aktivitas ekonomis di
sepanjang sungai. Umum diketahui pula bahwasanya di pinggir pantai atau laut
sejak jaman lampau biasanya terdapat bandar pelabuhan pusat perdagangan.
Berkaitan dengan wilayah dimana orang Betawi berada, secara
sederhana bisa dikatakan bahwa hilir mengacu ke arah utara atau pantai. Sedangkan
udik atau hulu ke selatan, tempat dimana mereka bermukim. Sampai sekarang di
beberapa wilayah sekitar Kebayoran masih ada penamaan daerah dengan menggunakan
kata hilir dan hulu atau mengartikannya dengan utara dan selatan. Contohnya, Sukabumi Utara/Sukabumi Selatan (Sukabumi
Ilir/Sukabumi Udik), Gandaria Utara/Gandaria Selatan, Cipete Utara/Cipete
Selatan (Cipete Ilir/Cipete Udik).
Penamaan Daerah Cipete Ilir dan Cipete Udik pada Peta Tahun 1914
Kembali ke istilah milir
untuk pergi ke pasar Induk Kramatjati seperti yang diceritakan diatas. Daerah
Kramatjati bukankah terletak di timur wilayah Jakarta. Bukan di pesisir pantai
atau utara Jakarta. Ah, jawabannya mungkin lagi. Mungkin yang diacu oleh makna
kata milir itu bukan hanya arah
utara, melainkan suatu tempat yang dianggap “pusat”. Pusat perdagangan sayur
mayur maksudnya. Wallahu alam....
Mantap....
BalasHapusTerimakasih
Hapus