Tradisi Lisan Pedagang Pasar Kebayoran



Hingga masa sebelum kemerdekaan, Kebayoran secara administratif masuk bagian dari kabupaten Meester Cornelis. Orang Kebayoran selalu menyebutnya dengan Mester. Sebuah distrik yang dikepalai oleh seorang Wedana dengan wilayahnya sampai Ciputat. 

Dalam statistik yang tercatat pada Nieuwe Bijdragen tot de Kennis der Bevolkingstatistiek van Jawa tahun 1864, wilayah Kebayoran memiliki luas 3.370 mil persegi dengan 160 desa atau kampung. Total jumlah penduduk 66.331 jiwa, yang berasal dari orang Pribumi, Eropa, Cina dan Arab. Rincian masing-masing penduduk itu terdiri dari orang Pribumi 62.759 jiwa, orang Eropa 506 jiwa, orang Cina 3006 jiwa dan orang Arab 60 jiwa.

Perkembangan kota Batavia atau Jakarta pada masa lalu, secara umum berdampak pula dengan Kebayoran. Jakarta memerlukan lahan untuk membangun pemukiman baru serta fasilitas publik. Pada tahun 1948 sebagian lahan di kawasan Kebayoran dijadikan tempat untuk program pemerintah tersebut. Maka sejak saat itulah penamaan daerah Kebayoran menjadi dua yakni Kebayoran Baru dan Kebayoran Lama.


Bangunan Toko di Kebayoran Baru (kiri) dan Pasar di Kebayoran Lama (kanan) Tahun 1950an
(Sumber: Roosmalen, 2008:197)


***

Aktivitas ekonomis adalah salah satu aspek dalam budaya suatu masyarakat dari sejak masa lalu. Kegiatan ekonomis itu pada tahap perkembangannya memunculkan adanya tempat yang dinamakan pasar. Begitu pula dengan Kebayoran, di wilayah yang pada sekitar awal 20 merupakan bagian dari Meester Cornelis ini memiliki sebuah pasar. 

Pada mulanya pasar di Kebayoran tidaklah memiliki bangunan-bangunan. Pasar di daerah ini hanyalah kumpulan para pedagang yang menggelar dagangannya di tepi jalan. Barulah pada sekitar tahun 1928, pemerintah pada saat itu membangun pasar yang lebih baik. Dengan bangunan-bangunan toko permanen. 

Koran Bataviaasche Nieuwsblad dalam terbitannya tanggal 10 September 1928 melaporkan bahwa proyek peremajaan pasar Kebayoran pada waktu itu dikerjakan oleh perusahaan swasta Hollandsche Beton Maschappij. Peresmian peremajaan pasar Kebayoran dihadiri oleh para pejabat administrasi Eropa dan Pribumi. Dalam sambutannya, Bupati Meester Cornelis, Raden Adinegara menyatakan bahwa pasar yang baru dibangun ini merupakan pasar modern di Kebayoran. Jadi, sebelum ada bangunan pasar di Kebayoran Baru, di Kebayoran Lama pun telah dibangun pasar yang dianggap modern. Tentu saja dianggap modern pada masa sebelumnya.



Peresmian Peremajaan Pasar Kebayoran Tahun 1928
Sumber: www.media-kitlv.nl

Pada hakekatnya pasar merupakan tempat interaksi masyarakat. Hubungan interaksi yang cukup erat tampak sekali dapat ditemui di pasar-pasar tradisional. Lain halnya jika kita berbelanja di toko atau supermarket modern, interaksi antar orang-orang nyaris tak dijumpai disana. Sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli, pasar tradisional bukan melulu dilihat dari aspek ekonomis. 

Di pasar tradisional muncul ekspresi budaya dari para pelaku yang kerkegiatan disitu. Proses interaksi yang terjadi di pasar-pasar tradisional pada gilirannya memunculkan adanya tradisi yang tercipta di masyarakat sekitar. Hal yang demikian bisa terjadi salah satunya melalui tradisi lisan yang berkembang.  

Salah satu bagian dari tradisi lisan adalah bahasa rakyat. Jenis-jenis bahasa rakyat tersebut misalnya logat, julukan, pangkat tradisional dan titel kebangsawanan. Logat merupakan cara mengucapkan kata yang khas biasanya dimiliki oleh masyarakat dari kelompok budaya tertentu. Selain logat, dalam bahasa folk atau bahasa daerah ada yang disebut dengan slang atau cant . Penggunaan jenis bahasa slang serta cant ini dimaksudkan untuk menyamarkan arti kata/bahasa dari kelompok lainnya.

Jenis bahasa yang terdapat di masyarakat Betawi, utamanya yang berprofesi sebagai pedagang yakni shop talk. Mungkin karena banyak orang Cina yang mendominasi dalam aktivitas perdagangan di pasar, kata-kata yang digunakan dalam shop talk itu pun berasal dari bahasa Cina. Kebanyakan istilah yang diucapkan merupakan kata-kata yang mengacu pada bilangan angka atau pecahan uang.

***

Sampai sekitar tahun 1980an, masyarakat di kampung Kebayoran, terutama yang berprofesi sebagai pedagang masih menggunakan shop talk yang berkaitan dengan penyebutan angka atau pecahan uang rupiah. Karena ayah saya pedagang, maka pada saat itu sering terdengar ucapan seperti gotun (lima rupiah), captun (sepuluh rupiah), jigo (duapuluh lima rupiah), gocap (limapuluh rupiah), cépe (seratus rupiah), péjigo (seratus duapuluh lima rupiah), pégo (seratus lima puluh rupiah), nopé (dua ratus rupiah), nopégo (dua ratus limapuluh rupiah), gopé (lima ratus rupiah), seceng (seribu rupiah), cénggo (seribu lima ratus rupiah), nocéng (dua ribu rupiah), gocéng (lima ribu rupiah), ceban (sepuluh ribu rupiah), noban (duapuluh ribu rupiah), goban (limapuluh ribu rupiah). Dan karena ayah cuma pedagang kecil, sewaktu itu saya jarang mendengar kata cetiaw (satu juta rupiah) yang keluar dari mulutnya...hehe



Duit Gotunan atau Rp 5


Di pasar Kebayoran dahulu dikenal pedagang-pedagang Cina yang jadi langganan keluarga kami untuk membeli keperluan rumah tangga. Apabila mau berbelanja, biasanya orang tidak menunjuk nama warung atau toko melainkan nama si pemiliknya. Saya masih ingat sewaktu disuruh membeli barang keperluan, orangtua kami menyebut nama si pemilik warung. “Tulung beliin beras ke warung Si Gobang gidah” , ucapan perintah itulah yang biasanya terdengar ke kami. Selain dari Si Gobang ada juga Si Akew.

Belakangan saya mengetahui bahwasanya nama Gobang atau Akew bukanlah nama sebenarnya. Nama tersebut sebenarnya adalah alias atau julukan. Gobang adalah pecahan uang jaman dulu, sedangkan Akew berarti anjing. Mengganti nama asli dengan julukan atau alias bagi sebagian masyarakat Cina sebenarnya merupakan sebuah tradisi eksorsis. Tradisi eksorsis merupakan kepercayaan untuk membebaskan seseorang dari roh jahat. Dengan mengganti nama asli dengan julukan yang jelek, diharapkan seseorang yang diganti namanya menjadi baik.

***

Sebagai pedagang perantara, ayah kami membeli barang untuk didagangkan kembali di pasar Kebayoran. Barang dagangan berupa sayur mayur dibeli di pasar Induk Kramatjati. Ada satu istilah yang dulu kami dengar jikalau ayah hendak pergi ke pasar Induk Kramatjati. Istilah itu adalah milir. Istilah dari kata milir itu berasal dari kata menghilir (hilir).

Secara umum kita mengenal istilah lain yakni hilir-mudik. Apabila ingin ditelusuri lebih jauh, mungkin kata “menghilir” ini berkaitan dengan aliran sungai. Secara geografis hulu atau udik berada di pegunungan, tempat dimana sumber aliran air sungai bermula. Adapun hilir yakni ujung dimana aliran sungai berakhir di pantai atau laut. Seperti diketahui bahwasanya sungai pada masyarakat tempo doeloe merupakan sarana transportasi. Melalui sungai pula muncul peradaban manusia, termasuk menciptakan adanya aktivitas ekonomis di sepanjang sungai. Umum diketahui pula bahwasanya di pinggir pantai atau laut sejak jaman lampau biasanya terdapat bandar pelabuhan pusat perdagangan.

Berkaitan dengan wilayah dimana orang Betawi berada, secara sederhana bisa dikatakan bahwa hilir mengacu ke arah utara atau pantai. Sedangkan udik atau hulu ke selatan, tempat dimana mereka bermukim. Sampai sekarang di beberapa wilayah sekitar Kebayoran masih ada penamaan daerah dengan menggunakan kata hilir dan hulu atau mengartikannya dengan utara dan selatan. Contohnya,  Sukabumi Utara/Sukabumi Selatan (Sukabumi Ilir/Sukabumi Udik), Gandaria Utara/Gandaria Selatan, Cipete Utara/Cipete Selatan (Cipete Ilir/Cipete Udik).


Penamaan  Daerah Cipete Ilir dan Cipete Udik pada Peta Tahun 1914

Kembali ke istilah milir untuk pergi ke pasar Induk Kramatjati seperti yang diceritakan diatas. Daerah Kramatjati bukankah terletak di timur wilayah Jakarta. Bukan di pesisir pantai atau utara Jakarta. Ah, jawabannya mungkin lagi. Mungkin yang diacu oleh makna kata milir itu bukan hanya arah utara, melainkan suatu tempat yang dianggap “pusat”. Pusat perdagangan sayur mayur maksudnya. Wallahu alam....


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer