MEMBACA PETA JADUL: Daerah Kebayoran, Ulujami dan Sekitarnya Akhir Abad 18
Suatu hari penulis berkesempatan untuk mengunjungi sanggar kreativitas
anak-anak yang terdapat di pinggiran kali Pesanggrahan, Ulujami. Suasana taman
serta pemandangan pinggir kali Pesanggrahan, menjadi tempat berkumpul yang
asyik untuk berdiskusi dan saling berbagi pengetahuan bersama teman-teman. Dari hasil diskusi yang santai
tapi serius itulah, saya coba menulis secara singkat tentang Ulujami dan
sekitarnya berdasarkan data yang dimiliki.
Ulujami yang merupakan sebuah wilayah administrasi setingkat
kelurahan, merupakan bagian dari Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Wilayah Ulujami yang
berukuran 1,71 kilometer persegi, secara geografis dibatasi oleh sungai
Pesanggrahan di sebelah barat serta kelurahan Cipulir dan Kebayoran Lama Utara
di sebelah barat. Pada bagian selatan berbatasan dengan kelurahan Pesanggrahan,
kelurahan Bintaro dan Kelurahan Srengseng membatasi wilayah ini di bagian timur
dan barat.
Tidak
banyak catatan sejarah masa lalu yang menuliskan tentang wilayah Ulujami yang terdapat di selatan Jakarta ini.
Hanya beberapa berita singkat tertulis di koran-koran yang terbit pada masa
kolonial. Diantara berita singkat itu menyebutkan tentang landhuis yang terdapat di wilayah Ulujami, tertulis pada berita di
koran Bataviaasch Handelsblad yang
terbit pada tanggal 23 Juni 1890. Berita di koran itu menuliskan adanya tanah serta
rumah yang diberikan untuk keperluan pertanian bagi orang-orang kurang mampu
yang tidak memiliki lahan tanah.
Bataviaasch Handelsblad 23 Juni 1890 |
Selain berita singkat yang terdapat pada koran Bataviaasch Handelsblad yang
terbit tahun 1890, buat saya ada catatan yang lebih menarik lagi mengenai
keberadaan wilayah Ulujami. Catatan yang menggambarkan wilayah Ulujami itu
terdapat pada sebuah peta yang diterbitkan pada tahun 1780.
Peta Tahun 1780 |
Sebuah peta yang terdapat dalam Comprehensive Atlas of Dutch United East India Company II - Java & Madura, ada
beberapa hal yang menarik untuk diuraikan lebih lanjut. Dari hal bagaimana peta
itu dibuat atau digambarkan, hingga usaha untuk menjelaskan tentang keterangan-keterangan
gambar yang ada di dalam peta. Walaupun dari semua usaha untuk
menguraikannya serba sangat terbatas, dikarenakan data yang sangatlah minim.
Pembuatan peta pada jaman kolonial tempo doeloe dikerjakan oleh sebuah lembaga yang disebut Collegie van Hemraden yang didirikan
pada tanggal 19 September 1664. Lembaga ini bertugas untuk mengatur
persoalan-persoalan yang terdapat di wilayah pinggiran kota Batavia atau Ommelanden. Adapun tugas-tugas tersebut
ialah menangani persoalan tanah partikelir; mengatur usaha penggilingan tebu,
yang mana lembaga ini mengawasi tempat-tempat penggilingan tebu yang tidak
resmi juga memungut pajak atas usaha tersebut; membangun insfrastruktur yang
berupa jembatan, jalan, saluran air, kanal dan sebagainya.
Dasar pendirian dewan atau lembaga Collegie van Hemradeen adalah untuk mengatur wilayah pinggiran kota
Batavia. Dalam sejarah perkembangannya, Batavia sebagai permukiman kota,
dirasakan mulai tidak nyaman untuk dihuni dikarenakan semakin bertambahnya
penduduk serta berkurangnya kualitas lingkungan di dalam kota. Dengan keadaan
yang demikian, lambat laun banyak para pejabat dan orang-orang kaya mulai
melirik untuk bertempat tinggal di wilayah pinggiran kota.
Dari judul peta tahun 1780 tersebut tertulis Kaart van de Landen Grogol Wastoenagara
Waktoenagara en Pabayoran Toebehoorende aan Zyn Hooghedelheyd Den HoogEdelen
Grootagbarenen Wydgebiedende Heere Reynier de Klerk Gouverneur Generaal van
Neederlands India Beneevens De Landen gelegen Tuschen de Revieren Grogol en
Ankee. Jelas bahwasanya wilayah atau lahan tanah yang dibatasi oleh sungai
Grogol dan Sungai Angke pada gambar peta itu merupakan milik Reiner de Klerk,
bekas Gubernur Jenderal VOC tahun 1777 hingga 1780.
Reiner de Klerk lahir di Midelburg tahun 1710, sebelum menjadi Gubernur Jenderal VOC, dia menapaki karirnya dari mulai nol di VOC. Dari perjalanan karirnya itulah dia menjadi orang kaya sekaligus pembesar di kalangan VOC. Dengan kekayaan serta kekuasaan yang dimiliki, dia mampu menguasai lahan tanah yang sangat luas di pinggiran kota Batavia.
Reiner de Klerk lahir di Midelburg tahun 1710, sebelum menjadi Gubernur Jenderal VOC, dia menapaki karirnya dari mulai nol di VOC. Dari perjalanan karirnya itulah dia menjadi orang kaya sekaligus pembesar di kalangan VOC. Dengan kekayaan serta kekuasaan yang dimiliki, dia mampu menguasai lahan tanah yang sangat luas di pinggiran kota Batavia.
Menarik untuk mengamati tulisan serta gambar yang terdapat
pada peta itu. Terdapat keterangan mengenai kadaster,
yaitu suatu pencatatan tanah milik yang menentukan letak rumah, luas tanah,
serta ukuran batasnya. Penentuan dari hal-hal yang disebut itu bertujuan untuk
menentukan besarnya pajak dan sebagainya. Memperhatikan nama-nama orang yang
tertulis pada kadaster, berasal dari kaum pribumi maupun orang-orang asing,
seperti Cina dan Moor atau Arab. Mereka orang-orang yang berasal dari berbagai
etnis dan ras itu, menyewa lahan tanah untuk digarap.
Selain itu, ada pula gambar atau lokasi sungai, kanal, jalan rumah,
nama-nama lokasi. Nama-nama lokasi pada peta seperti misalnya, Padoekangan, Maroedja, Paningara, Rawa
Camierie, Priegie. Nama Padoekangan
dan Maroedja pada masa sekarang
menjadi suatu daerah administrasi kelurahan yakni Petukangan Utara dan
Petukangan Selatan, serta kelurahan Maruya. Sedangkan nama-nama lokasi Paningara, Rawa Camierie dan Priegie saat ini banyak orang yang
mungkin tak mengetahuinya.
Paningara merupakan sebutan untuk Kampung
Peninggaran yang terletak diantara Kelurahan Cipulir dan Ulujami di pinggiran
sungai Pesanggrahan. Rawa Camierie
atau Rawa Kemiri adalah sebuah kampung yang terletak di jalan raya Kebayoran, Kelurahan
Grogol Selatan. Adapun Priegie atau
disebut juga Kampung Perigi, orang dahulu mengenal wilayah kampung ini terletak
di sekitar Kelurahan Kebayoran Lama Selatan saat ini. Ada pula Kampung Perigi
yang saat ini menjadi wilayah Kelurahan di Tangerang Selatan.
Sungai Pesanggrahan yang Melintasi Daerah Ulujami |
Sungai yang digambarkan pada peta terdiri dari sungai Grogol,
sungai Pesanggrahan dan sungai Angke. Sungai Pesanggrahan yang mempunyai
panjang kurang lebih 66 km, mengalir melewati wilayah Ulujami. Seperti
keberadaan sungai pada umumnya, pinggiran sungai Pesanggrahan juga menjadi
pilihan untuk beraktivitas manusia pada masa lalu. Penggalian arkeologi yang
dilakukan di wilayah sekitar Ulujami pada tahun 1989 membuktikan hal yang demikian. Dalam penggalian itu
ditemukan fragmen tembikar, terakota, alat logam serta terak besi. Hasil temuan
yang sangat minim dan kurangnya variasi jenis temuan belum dapat mengidentifikasi
lebih lanjut mengenai situs atau tempat ini pada masa lalu. Lebih disayangkan
lagi adalah artefak-artefak hasil penggalian dari lokasi di sekitar Ulujami,
saat ini sulit dilacak lagi keberadaannya.
Selain menjadi tempat pemukiman, sungai Pesanggrahan juga dijadikan
sarana transportasi masyarakat pada masa lalu. Menurut cerita masyarakat
sekitar Ulujami, dahulu terdapat tempat-tempat di pinggiran sungai Pesanggrahan
yang disebut dengan pangkalan. Orang-orang tua di Ulujami masih mengingat
beberapa pangkalan di pinggiran sungai, seperti Pangkalan Teriti, Pangkalan
Kebo, Pangkalan Haji Lihun. Letak
Pangkalan Kebo diperkirakan di
sekitar ujung jalan Haji Buang, sedangkan Pangkalan
Teriti di ujung jalan Haji Ridi.
Lokasi yang Dahulu terdapat Pangkalan Teriti |
Keberadaan pangkalan di pinggir sungai bukan hanya tempat
mangkal atau menambatkan perahu-perahu yang melintas di aliran sungai. Tempat mangkalnya
perahu sebetulnya punya fungsi dan arti yang lebih komplek daripada itu. Pangkalan
merupakan “pasar” tempat bertemunya pembeli dan penjual, tempat barang-barang
dipertukarkan. Selain itu pula sebagai tempat yang memiliki struktur organisasi
dengan aspek ekonomisnya yang menonjol.
Pada peta terlukis banyak jalan yang terdapat di wilayah
Kebayoran dan sekitarnya. Salah satu lukisan jalan yang tampak lebih lebar dibandingkan
dengan beberapa jalan lainnya. Jalan yang cukup lebar itu membentang mulai dari
Kampong Assam di ujung barat melalui Kampong Larangan, Kampong Creo, Kampong
Lojammie hingga sekitar Rawa Camierie
di sebelah timur. Dapat dipastikan bahwa jalan yang lebar ini merupakan cikal
bakalnya Jalan Ciledug Raya yang masih ada sekarang ini.
Di pinggir jalan yang lebar tersebut, tepatnya di sekitar Kampong Lojammie tergambar sebuah rumah
tinggal yang ukurannya lebih besar dari yang lainnya. Bisa jadi bahwa rumah
tinggal ini merupakan sebutan orang-orang Ulujami dulu yang menyebutnya dengan Gedong Ijo. Bang Oji salah satu warga
yang tinggal disitu, menceritakan bahwa semasa kecilnya dia masih melihat
sisa-sisa bangunan itu dengan tiang-tiangnya yang berukuran besar. Kini jangankan
kita dapat menyaksikan rumah utuhnya, bekas-bekas reruntuhannya pun tak terlihat lagi. Hilang lenyap dan berganti wujud menjadi gedung-gedung pertokoan.
Mantap Bang. Saatnya sejarah lokal bangkit! :)
BalasHapusMari kita bareng-bareng
Hapusbekas gedong ijo nya sekarang sebelah mana bang?
BalasHapusMenurut orang tua disana, Gedong Ijo ada disekitar jembatan dekat pasar Cipulir. Kalau dari arah Ciledug ke Kebayoran, ada di sebelah kiri.
HapusMungkin yang sekarang jadi Darunnajah Center ya Bang?, saya tinggal di jalan Haji Buang, lokasi yang masuk dalam pembahasan..hehee
BalasHapusIya, di sekitar lokasi Darunnajah Center itu.
HapusSelamat pagi Mas...
BalasHapusDimana saya bisa menemukan photo-photo lama pabrik angin Cipulir (depan Lemigas, Jakarta Selatan) yang kini sudah menjadi lokasi pasar Cipulir?.
Mohon maaf jika telah mengganggu.
Terima kasih.
Nggak tau
Hapuskalo Gedong Ijo maksudnya bangunan apaan bang?
BalasHapus"gedong ijo" sebutan masyarakat sekitar pada masa lalu, untuk menyebut bangunan landhuis di Ulujami.
HapusBisa dijelaskan mengenai daerah pisangan kreteg didaerah Petukangan
BalasHapusMaaf, saya nggak tahu 🙏🙏
HapusPisangan Kreteg sekarang petukangan selatan ( gg Lurah sampai Gang Damai)
HapusTerimakasih info-nya
HapusJaman dulu di sebut Kali Geding
BalasHapus