PASAR BUAH DI PASAR MINGGU
Dari keriput di wajahnya
menandakan usia lebih dari 70 tahun. Tapi tubuhnya tetap sehat dan gagah. Masih
ada sisa-sisa yang menandakan orangtua ini pekerja keras di masa mudanya. Keras
dalam arti sebenarnya.
Sambil merokok dan menikmati secangkir kopi, saya sempat mengobrol di
warteg dengan bapak tua, yang disapa dengan Pak Murodi itu. “Dulu waktu masih muda apa saja saya kerjain pak”,
katanya di tengah-tengah obrolan kami berdua. “Dari kuli bangunan sampai dagang
buah-buahan saya lakonin”, lanjutnya.
Dia berkisah bagaimana aktivitasnya
sewaktu berdagang buah di masa lalu. “Kalo waktu sudah sore kita rame-rame pegih
ke Pasar Minggu beli buah-buahan buat dijual lagi di sekiter daerah Buaran, Jakarta Timur ini”. Seterusnya dia berkata, “Kadang-kadang kita jalan kaki kesono. Nah, kalo udah
dapet buah-buahan yang kita butuh, baru dah kita dagangin”.
Saya bertanya,
“Jadi bapak jualan buah di sekitar daerah ini, ngambil buahnya bukan dari Pasar
Induk Kramatjati?”. Dengan nada suara yang agak nyaring bapak tua itu menjawab,
“Lah iya, dulu waktu saya masih muda. Kalo pedagang buah mau ngambil
dagangannya mah ngambilnya di Pasar Minggu bukan di pasar induk Kramatjati”.
***
Pada masa awal kekuasaan kolonial
di Batavia, Pasar Minggu merupakan daerah pinggiran yang biasa disebut sebagai ommelanden. Ommelanden atau daerah pinggiran pada saat berkuasanya VOC mengacu
pada suatu daerah kosong tak bertuan antara penguasa yang berada di kastil
Batavia dengan pemukiman penduduk pribumi. Pada awal abad 18 wilayah ommelanden tersebut dianggap sebagai
daerah yang aman. Hingga selanjutnya, daerah pinggiran ini mengalami
perkembangan dari aspek sosial-ekonominya.
Lebih-lebih lagi ketika jalur
transportasi darat yang menghubungkan kota Batavia dengan Bogor dibangun. Jalan
darat yang melintasi wilayah pinggiran bagian selatan Batavia dibuat sekitar
tahun 1830. Adapun jalur kereta api telah difungsikan pada tahun 1873.
Keberadaan sarana transportasi tersebut
semakin membuat berkembangnya aspek ekonomi. Terutama di bidang perkebunan
buah-buahan di wilayah pinggiran selatan Batavia, khususnya daerah sekitar
Pasar Minggu.
Dari sedikit riwayat di atas
menjadikan daerah sekitar Pasar Minggu dikenal sebagai penghasil buah-buahan
oleh masyarakat Jakarta. Memori kolektif masyarakat mengidentikan Pasar Minggu
dengan buah. Sampai-sampai seorang Adikarso menciptakan lagu yang terkenal pada
sekitar tahun 1957 dengan judul Papaya
Chacha. “Papaya mangga pisang jambu.
Dibawa dari Pasar Minggu. Disini banyak penjualnya. Disana banyak pembelinya”,
demikian sebagian syair dari lagu itu.
Perkebunan buah nampak lebih
dominan di Pasar Minggu. Hasil buah yang baik, bukan hanya didistribusikan
untuk kebutuhan dalam kota serta daerah-daerah lain. Melainkan juga untuk
konsumsi orang di luar negeri. Surat kabar Nieuwe
Rotterdamsche Courant dalam
terbitannya tanggal 31 Desember 1927 memberitakan adanya buah tropis impor yang
berasal dari Hindia Belanda. Buah-buahan tropis yang dikirimkan itu terdiri
dari mangga arumanis Cirebon, mangga gedong Pasuruan serta sirsak dari Pasar
Minggu.
Sebagian masyarakat Pasar Minggu
yang berusaha di bidang perkebunan buah agaknya merupakan suatu hal positif. Memperhatikan
hal yang demikian, pemerintah kolonial merencanakan pembangunan untuk mendukung
usaha para petani buah. Salah satunya adalah dengan meremajakan pasar yang lama
menjadi lebih baik dan nyaman. Dan menetapkan pasar yang baru diremajakan itu
sebagai pasar khusus buah-buahan.
***
Seperti riwayat pasar jaman
dahulu pada umumnya. Penamaan hari pada kata “Pasar Minggu” erat hubungannya
dengan hari pasaran atau hari dimana pasar tersebut melakukan aktivitas
jual-beli. Terkait dengan hal yang demikian itu, maka kita mengenal sebutan
pasar senin, pasar rabu, pasar kamis, pasar jum’at, pasar minggu.
Seiring berlalunya waktu, sekarang
istilah itu bukan hanya mengacu nama lokasi atau tempat orang melakukan
jual-beli. Melainkan juga menjadi nama daerah seperti Pasar Senen, Pasar Rebo,
Pasar Jumat dan Pasar Minggu.
Kembali kepada pasar yang
terletak di wilayah Pasar Minggu. Sebelum adanya bangunan pasar yang ada sekarang ini, aktivitas perdagangan berada di sekitar Kampung Lio, pinggir sungai Ciliwung. Pasar yang hanya berlangsung pada hari Minggu ini terdapat bangunan-bangunan toko atau warung yang terbuat dari bahan bangunan sangat sederhana. berdinding bambu serta beratapkan bahan rumbia. Menurut cerita penduduk setempat, pasar ini merupakan milik seorang tuan tanah kaya.
Dalam perkembangan selanjutnya, pasar ini diperbaharui agar lebih baik oleh pemerintah kolonial saat itu.
Sedikit keterangan tentang pasar yang diperbaharui tersebut dapat diketahui dari pidato pembukaan Bupati Meester Cornelis yang ditulis pada surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 17 Januari 1931. Dalam pidato sambutannya pada acara peresmian peremajaan pasar itu, Bupati Meester Cornelis menyatakan bahwa,
Sedikit keterangan tentang pasar yang diperbaharui tersebut dapat diketahui dari pidato pembukaan Bupati Meester Cornelis yang ditulis pada surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 17 Januari 1931. Dalam pidato sambutannya pada acara peresmian peremajaan pasar itu, Bupati Meester Cornelis menyatakan bahwa,
Keberadaan pasar yang lama di
Pasar Minggu pada awalnya hanya melakukan aktivitas jual-beli pada hari minggu
saja. Perkembangan kondisi sosial-ekonomi masyarakat sekitar Pasar Minggu,
khususnya para petani buah berpengaruh besar terhadap pasar ini.
Dari keadaan
yang demikian, maka pembangunan pasar merupakan tuntutan karena kondisi pasar
yang lama keadaannya sudah tidak memadai. Dengan dibangunnya sarana pasar yang
baru akan lebih membuat keadaan lebih baik dan nyaman.
Pasar Buah di Pasar Minggu Tahun 1932 Sumber: Locale Techniek |
Peremajaan pasar lama itu bukan
hanya berfokus hanya pada banguna-bangunan baru yang dibuat lebih baik.
Melainkan juga memperhatikan kenyamanan lingkungan di sekitarnya. Majalah Locale Techniek edisi No. 1-2 Januari-April
1932, menuliskan tentang pembangunan pasar yang baru di wilayah Pasar Minggu
ini sebagai berikut.
“Soeatoe hatsil jang lebih baik telah ada tertjapai oleh Regentschap
Meester Cornelis pada pembikinannja soeboeah pasar-boeah di Pasar Minggoe.
Pasar terseboet ada didirikan dari besi dengan memakai atap bersoesoen (luchtkap),
jang dapat memasoekkan hawa, sehingga di dalam pasar itoe hawanja ada njaman. Pasar-boeah
ini dimoekanja mempoenjai tempat pemberhentian boeat kendaraan dan autobus2, sehingga
berdjalannja kendaraan dan orang tidak terganggoe”.
Pasar yang pembuatannya dilakukan
oleh pihak swasta, dengan biaya yang cukup besar itu dituliskan lebih lanjut
dalam majalah Local Techniek,
Pasar itoe pendiriannja diborong oleh firma Lindeteves sehingga selesai
ketjoeali atapnja genteng model Echtsch, dengan harga sedjoemblah f 22.000,— . Hanja
ada sajang sedikit, tjetnja alluminium dalam tempo setahoen soedah mendjadi
hitam. Hatsil pendapatannja dalam tahoen 1931 ada f 11.000,— dan belandja jang dikloearkan
hanja f 2000,— sedang belandja pendiriannja dengan terhitoeng belandja pembikinan
rioleering dan harga pembelian tanah sedjomblah ada f 50.000,- .
Kini keberadaan
pasar itu sebagai pasar buah kian memudar dan menjadi hilang tak berbekas. Fungsinya yang dahulu sebagai pasar khusus buah-buahan kini telah
hilang. Hal demikian berkaitan dengan semakin jarangnya masyarakat yang berprofesi sebagai
petani buah di sekitar wilayah Pasar Minggu.
aye lahir di pasar minggu, deket kampung lio (rawajati). kampung aye namanye kemuning
BalasHapus@pakciklukman
Terimakasih Pak Cik Lukman. Salam kenal..
HapusAne tinggal di kemang bang tetanggan ame ps minggu...makasih ceritanye nambah elmu kite...sukses bang
BalasHapusTerimakasih
Hapus