NAMA ORANG DI JALANAN JAKARTA: Dari Tokoh Nasional Hingga Tokoh Lokal

Pernahkah membayangkan bagaimana manusia bisa berkomunikasi, tanpa menyebutkan sebuah nama. Betapa kacaunya kehidupan ini jika segala sesuatu yang dilihat, dibuat atau dipakai oleh orang tanpa nama. 

Sebagai ilustrasi, apabila ada seseorang yang ingin bepergian ke suatu tempat. Lalu ia bertanya, “Saya ingin pergi ke daerah anu, jalan mana yang harus dilewati?”. Kemudian yang ditanya menjawab,”Oooh...kalau ingin ke daerah anu, anda harus lewat jalan itu, nanti jika ada perempatan belok kanan melalui jalan anu”. Sama-sama bingung jadinya.

Sebagai mahluk berbudaya manusia selalu memberikan nama terhadap sesuatu. Apapun itu, gunung, sungai, orang, hewan, tumbuhan, lokasi geografis dan sebagainya. Semua diberi nama oleh manusia. Memberikan nama terhadap sesuatu pada lingkungan sekitarnya dapat dianggap sebagai usaha memberi acuan terhadap obyek yang diberi nama. Oleh karenanya dapat memudahkan untuk komunikasi. 

Begitu pun dengan sarana jalan yang ada di daerah atau lingkungan sekitar kita. Jalan selalu diberikan nama. Pada dasarnya penamaan jalan merupakan suatu usaha identifikasi terhadapnya. Melalui penamaan tersebut diharapkan dapat dengan mudah dikenali dan dicantumkan dalam sebuah peta. Selain fungsi tersebut, penamaan suatu jalan dapat pula dilihat dari aspek lainnya. Bisa jadi, ada aspek latar belakang atau motivasi orang memberikan nama pada suatu jalan.

***

Penamaan jalan berbahasa Belanda di Jakarta, banyak ditemukan pada wilayah pemukiman atau sarana jalan sebagai penghubung antar wilayah yang dibangun hingga awal abad 20. Nama-nama jalan biasanya berkaitan dengan tokoh atau orang, bangunan, jabatan, ciri khas tempat dan sebagainya.

Bila melihat peta-peta Jakarta tempo doeloe, penamaan jalan hampir seluruhnya menggunakan bahasa Belanda. Kalaupun ada kata-kata yang berasal dari bahasa Melayu, pastilah dibelakangnya ditambahkan dengan weg, laan atau straat. Penamaan jalan yang menggunakan bahasa Belanda tersebut berubah sewaktu pemerintahan baru muncul. Semangat nasionalisme pemerintahan baru RI saat itu, memunculkan adanya nama-nama tokoh atau pahlawan nasional yang digunakan sebagai nama jalan.

Berikut merupakan contoh nama-nama jalan berbahasa Belanda di daerah Jakarta yang diganti penamaannya. Di daerah sekitar Menteng, Jakarta Pusat adalah Burg Bisschopplein (Jalan Taman Surapati), Dambrinkweg (Jalan Latuharhary), Djocjaweg (Jalan Ki Mangunsarkoro), Engelsche Kerkweg (Jalan Arif Rahman Hakim), Van Heutszboulevard (Jalan Teuku Umar), Grisseweg (Jalan Sutan Sjahrir), Javaweg (Jalan H.O.S Cokroaminoto), Madoeraweg (Jalan Prof. Muhammad Yamin), Mampangweg (Jalan Teuku Cik Ditiro), Nassauboulevard (Jalan Imam Bonjol), Nieuw Tamarinelaan (Jalan GSSJ Sam Ratulangi), Oranjeboulevard (Jalan Diponegoro), Oud Gondangdia (Jalan R.P Suroso), Oud Gondangdia Ketjil (Jalan Cut Meutia),  Palmenlaan (Jalan Suwiryo), Pamekasanweg (Jalan Haji Agus Salim), Serangweg (Jalan Syamsu Rizal), Spoorweglaan (Jalan Cut Nyak Dien), Tosariweg (Jalan Dr. Kusuma Atmaja), Wilhelminalaan (Jalan Yusuf Adiwinata).


Mampangweg di Wilayah Menteng, Jakarta Pusat.
 Sekarang Menjadi Jalan Teuku Cik Ditiro.
Sumber: Gemeente Batavia 1906-1930


Di sekitar Jakarta Pusat ada pula beberapa nama jalan lama yang diganti, yaitu Anderson gang (Jalan Kartini 1), Chaulanweg (Jalan KH. Hasyim Ashari), Djagamonjet (Jalan Suryopranoto), Hertogsweg (Jalan Abdul Rahman Saleh), Noordwijk (Jalan Ir. Juanda), Oude Tamarinelaan (Jalan KH. Wahid Hasyim), Sawah Besar weg (Jalan Samanhudi dan Jalan Sukarjo Wiryopranoto), Schoolweg (Jalan Dr. Sutomo),  Sipayersweg (Jalan Dr. Wahidin), Tromplaan (Jalan Kartini 4), Tuin Du Bus I (Jalan Dokter Wahidin 1), Tuin Du Bus II (Jalan Dokter Wahidin 2).

Wilayah Jakarta Barat terdapat pula nama-nama jalan berbahasa Belanda yang dirubah, seperti  Ketapangweg (Jalan KH. Zainul Arifin), Molenvliet West (Jalan Gajah Mada), Molenvliet Oost (Jalan Hayam Wuruk), Tangerangscheweg (Jalan Kyai Tapa).

Adapun di daerah Jakarta Timur dan Jakarta Selatan penamaan jalan berbahasa Belanda yang berubah yaitu, Bidara Tjina weg (Jalan Otto Iskandardinata), Generaal Staallaan (Jalan Jendral Urip Sumoharjo), Oranjepleinlaan (Jalan Slamet Riyadi), J.P Coen weg (Jalan Sultan Agung), Kebajoranweg (Jalan KH. Abdullah Syafei).

***

Perkembangan pembangunan terus berlanjut. Sejak pemerintahan jaman Ali Sadikin, di Jakarta terkenal dengan proyek Muhammad Husni Thamrin. Masyarakat saat itu lebih mengenalnya dengan sebutan proyek MHT. Proyek ini terkenal karena banyak mengubah kondisi pemukiman di kampung-kampung Jakarta. Pada tahap selanjutnya memunculkan adanya jalan-jalan lingkungan baru di pinggiran kota.

Berkaitan dengan munculnya jalan-jalan baru di lingkungan perkampungan Jakarta, pada tahun 1976 pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan SK No. D.IV-4243/b/7/1976, tentang penamaan jalan. Salah satu peraturannya menyebutkan bahwa penamaan jalan tersebut dapat diusulkan oleh Badan/Lembaga Pemerintah atau swasta maupun Masyarakat baik perorangan, kelompok, organisasi atau instansi.

Ada hal menarik dari penamaan nama-nama jalan yang berada di lingkungan pinggiran Jakarta. Terutama penamaan jalan yang diambil dari nama tokoh atau orang. Jika pemukiman yang berada di wilayah kota, penamaan jalan yang menggunakan nama orang, umumnya menggunakan nama-nama tokoh atau pahlawan nasional. Maka jalan-jalan baru yang muncul di wilayah kampung Jakarta menggunakan nama dari tokoh lokal. Menariknya lagi, kebanyakan tokoh-tokoh yang dijadikan nama jalan itu bergelar haji.

Cobalah lihat nama-nama jalan yang ada di pinggiran kota Jakarta yang terdapat di peta. Puluhan atau mungkin seratusan nama jalan yang menggunakan nama tokoh yang bergelar haji. 

Di wilayah sekitar Kebayoran saja banyak terdapat nama jalan yang seperti itu. Misalnya, Jalan Haji Goden, Haji Amsar, Haji Gandun, Haji Baserin, Haji Pekir, Haji Pentul, Haji Pe’eng, Haji Ni’an, Haji Murin, Haji Muchtar, Haji Ridi, Haji Merin, Haji Gaim, Haji Jimin dan sebagainya.

Plang Nama Jalan Haji Buang di Daerah Ulujami, Kebayoran Lama

Hal demikian tampaknya berkaitan dengan tradisi di sebagian besar wilayah kampung Jakarta pada waktu dulu. Tradisi yang menyangkut keagamaan tradisional masyarakat kampung pada umumnya menghormati tokoh atau orang yang bergelar haji. 

Seperti kata pak Abubakar, 79 tahun, yang menceritakan tentang Haji Buang dan Haji Dilun. Kedua tokoh itu dijadikan nama jalan di daerah Ulujami, “Kakek saya namanya Haji Buang, dulu dia menjadikan rumahnya buat ngajarin ngaji qur’an. Jadi ya dihormati orang kampung sini sebagai mualim gitu lah”. Selanjutnya beliau juga berkisah, “Nah, kalo adeknya bernama Haji Dilun, terkenal karena jago maen pukul, jadi orang sini merasa aman karena merasa ada yang ngelindungin di kampungnya sendiri”.



Komentar

Postingan Populer